Uu Ite Tentang Pencemaran Nama Baik Pasal Berapa

Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE

Peraturan yang mengatur mengenai masalah pencemaran nama baik adalah UU Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal pencemaran nama baik melalui media elektronik menjadi hal yang dilarang sesuai dengan UU ITE pasal 27 ayat 2 yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Pasal pencemaran nama baik di media sosial dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 pasal 45 ayat 3 yang mengatur setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.

Konten dan Konteks Pencemaran Nama Baik

Dalam menentukan pasal pencemaran nama baik, konten dan konteks merupakan bagian yang penting untuk dipahami. Tercemarnya nama baik seseorang pada dasarnya hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan.

Maka dari itu, korbanlah yang bisa menilai secara subjektif mengenai konten dari satu perubahan yang telah menyerang kehormatan dan nama baiknya. Dalam hal ini, perlindungan hukum diberikan kepada korban.

Konteks juga berperan untuk memberikan penilaian yang objektif terhadap suatu konten yang dianggap mencemarkan nama baik korban. Pemahaman konteks mencakup gambaran mengenai suasana hari korban dan pelaku sehingga dibutuhkan beberapa ahli untuk menilainya seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.

Nah, itulah dia pembahasan lengkap mengenai berbagai pasal pencemaran nama baik yang ada di dalam KUHP dan UU ITE. Berbagai pasal yang telah dibahas bisa digunakan untuk menjerat seseorang yang melakukan pencemaran nama baik.

Kasus mengenai pencemaran nama baik merupakan salah satu kasus yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Pasal pencemaran nama baik digunakan untuk menjerat berbagai perbuatan yang mencemarkan nama baik seseorang.

Di Indonesia, perbuatan pencemaran nama baik diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Dikutip dari jurnal hukum  website berita Detik.com, pasal pencemaran nama baik dalam KUHP mengatur berbagai perbuatan pidana

yang akan mengatur permasalahan mengenai pencemaran nama baik. Dikutip dari jurnal hukum yang diberitakan kembali Detik.com menjelaskan sejumlah pasal yang mengatur perbuatan melawan hukum versi KUHP dan UU ITE

Berikut adalah pasal pencemaran nama baik dalam KUHP.

Pasal ini mengatur mengenai pencemaran secara lisan. Pasal 310 ayat 1 KUHP berbunyi “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Pasal ini akan mengatur perbuatan pencemaran nama baik yang dilakukan secara tertulis. Pasal 310 ayat 3 berbunyi “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Pasal 311 KUHP mengatur tentang perbuatan fitnah yang dilakukan oleh seseorang. Pasal 311 ayat 1 KUHP berbunyi “Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”

Pasal 315 KUHP mengatur mengenai penghinaan ringan yang dilakukan oleh seseorang. Pasal 315 KUHP berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Pasal 317 KUHP mengatur mengenai perbuatan memfitnah dengan pengaduan. Yang dimaksud memfitnah dengan pengaduan dalam pasal 317 KUHP dalam pasal 1 yaitu “Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Pasal ini mengatur mengenai pencemaran nama baik terhadap seseorang yang sudah mati. Perbuatan tersebut dapat diancam oleh pasal 320 ayat 1 KUHP. Pasal 320 ayat 1 berbunyi “Barang siapa terhadap orang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang tersebut masih hidup, akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”

Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE

Peraturan yang mengatur mengenai masalah pencemaran nama baik adalah UU Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal pencemaran nama baik melalui media elektronik menjadi hal yang dilarang sesuai dengan UU ITE pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Hukum Pencemaran Nama Baik di Media Sosial

Pasal pencemaran nama baik di media sosial dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 pasal 45 ayat 3 yang mengatur setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.

Konten dan Konteks Pencemaran Nama Baik

Dalam menentukan pasal pencemaran nama baik, konten dan konteks merupakan bagian yang penting untuk dipahami. Tercemarnya nama baik seseorang pada dasarnya hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan.

Maka dari itu, korbanlah yang bisa menilai secara subjektif mengenai konten dari satu perubahan yang telah menyerang kehormatan dan nama baiknya. Dalam hal ini, perlindungan hukum diberikan kepada korban.

Konteks juga berperan untuk memberikan penilaian yang objektif terhadap suatu konten yang dianggap mencemarkan nama baik korban. Pemahaman konteks mencakup gambaran mengenai suasana hari korban dan pelaku sehingga dibutuhkan beberapa ahli untuk menilainya seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.

Pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE banyak mengkriminalisasi ekspresi-ekspresi yang sah dan menjadi masalah pokok dari UU ITE. Permasalahan perumusan seperti delik pokok mengenai penghinaan yang diatur dengan berbagai jenis perbuatan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diambil dan diimplementasikan secara berantakan. Sehingga dalam beberapa kasus, kasus pidana penghinaan ringan yang seharusnya diancam dengan pidana yang relatif lebih rendah disamaratakan dengan tindak pidana yang ancaman pidananya lebih tinggi. Selain itu, tidak jelasnya unsur mentransmisikan (menyebarkan ke satu orang lain) gagal menafsirkan unsur “di muka umum” yang merupakan unsur utama dari ketentuan pencemaran nama baik di delik pokoknya di KUHP. Pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE menduduki Pasal yang paling banyak digunakan menurut hasil riset ICJR tahun 2021.

Kertas Kebijakan ini berisi masukkan atas usulan rumusan Matriks Draft RUU ITE yang ada. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dalam proses revisi kedua UU ITE dan memperbaikinya demi sejalan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia dan prinsip hukum pidana.

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Teguh Arifiyadi menyatakan pencantuman pasal pencemaran nama baik pada perubahan kedua Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah sesuai dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).

“Pasal pencemaran nama baik di UU ITE lama telah diuji 3 kali di Mahkamah Konstitusi yang semua putusannya menyatakan bahwa delik pencemaran nama baik itu konsititusional dan tidak melanggar hak asasi manusia,” ujar Teguh, Kamis, 10 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menyebutkan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang ITE tetap tercantum meski perubahan kedua beleid itu sudah disahkan. Sejumlah pasal karet itu adalah pasal pencemaran nama baik, informasi palsu hingga ujaran kebencian.

Meski begitu, ia pun menyebut perlu ada perbaikan redaksional agar tidak disalahgunakan.

“Sehingga yang perlu diperbaiki adalah redaksionalnya agar tidak disalahgunakan atau dimanfaatkan kepentingan tertentu. Redaksionalnya disesuaikan dengan rumusan delik pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP baru dan pasal 310 dan 311 KUHP lama,” kata Teguh.

Teguh menambahkan, setelah KUHP baru nanti berlaku pada 2 Januari 2026, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE baru yakni UU Nomor 1 Tahun 2024 akan dicabut. "Dan dikembalikan ke delik pencemaran nama baik yang ada dalam KUHP baru,” ucapnya.

Ihwal keinginan sejumlah pihak untuk merevisi total Undang-undang ITE Nomor 1 Tahun 2024, menurut dia, masih sangat memungkinkan terjadi. Asalkan disepakati oleh DPR dan Pemerintah melalui kajian yang komprehensif dari berbagai sisi, baik dari sisi norma, implementasi, dan asas keseimbangan antara korban dan pelaku.

Seperti yag kita ketahui bahwa dalam KUHP terdapat banyak pasal yang mengatur pencemaran nama baik. Melansir dari buku KUHP serta Komentarnya oleh R. Soesilo , terdapat beberapa bentuk hukum pencemaran nama baik, yakni:

Pasal ini membahas tentang tindak pencemaran yang diutarakan secara lisan. Ketika individu terbukti melakukan komponen-komponen pencemaran melalui ucapan, maka yang bersangkutan dapat dijerat dengan pasal ini.

Pasal 310 ayat 1 KUHP menyatakan "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Pasal ini sering diterapkan pada kasus penghinaan di media sosial atau forum publik, di mana pelaku secara verbal menyebarkan tuduhan yang dapat merusak reputasi korban.

Pasal berikut mengatur tentang tindakan pencemaran nama baik yang dilaksanakan dalam bentuk tertulis. Individu yang mencoreng nama baik pihak lain melalui tulisan bisa dikenai sanksi pasal ini.

Pasal 310 ayat 2 menjelaskan "Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Di era digital, pasal ini juga mencakup pencemaran nama baik melalui media elektronik seperti email, blog, atau platform digital lainnya.

Pasal 311 KUHP mengulas mengenai aksi fitnah yang dilaksanakan oleh seseorang. Tindakan fitnah yang berpotensi merusak reputasi individu lain dapat dikenakan sanksi berdasarkan pasal ini.

Pasal 311 ayat 1 KUHP berbunyi "Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun."

Perbedaan utama antara pencemaran nama baik dan fitnah adalah pada unsur pembuktian. Dalam kasus fitnah, pelaku tidak dapat membuktikan tuduhannya dan sudah mengetahui bahwa tuduhannya salah sejak awal.

Pasal 315 KUHP memberikan ketentuan tentang penghinaan ringan yang dilaksanakan seseorang. Definisinya, ketika seseorang menghina atau mengucapkan kata-kata kasar yang menurut pandangan masyarakat termasuk dalam kategori penghinaan, maka hal tersebut dapat memenuhi elemen dari pasal 315.

Pasal 315 KUHP menyatakan "Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Pasal ini sering diterapkan pada kasus penghinaan sehari-hari seperti menggunakan kata-kata kasar di tempat umum atau mengirim pesan berisi hinaan langsung kepada korban.

Pasal 317 KUHP menguraikan tentang tindakan memfitnah melalui pengaduan. Definisi memfitnah dengan pengaduan dalam pasal 317 KUHP pada ayat 1 yang berbunyi "Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun."

Pasal ini khususnya melindungi masyarakat dari tindakan pelaporan palsu yang sengaja dilakukan untuk menjatuhkan nama baik seseorang di hadapan pihak berwenang.

Pasal ini menjelaskan tentang pencemaran nama baik terhadap individu yang telah meninggal dunia. Perbuatan semacam ini dapat dikenai sanksi sesuai pasal 320 ayat 1 KUHP.

Pasal 320 ayat 1 menetapkan "Barang siapa terhadap orang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang tersebut masih hidup, akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah."

Pasal ini memperlihatkan bahwa hukum juga melindungi kehormatan orang yang sudah meninggal, dan keluarga almarhum memiliki hak untuk menuntut jika terjadi pencemaran nama baik terhadap orang yang telah meninggal.

UU ITE hasil revisi hadir sebagai salah satu solusi kecil untuk menjawab soal perilaku yang gemar melaporkan dengan pasal pencemaran nama baik.

Presiden Joko Widodo resmi meneken Undang-Undang No.1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada 2 Januari 2024. Dalam UU ITE yang baru ini, terdapat sejumlah perubahan dari UU sebelumnya.

Managing Partner Handiwiyanto & Associates, Billy Handiwiyanto, menyoroti sejumlah pasal perubahan yang lebih spesifik di dalam UU ITE jilid dua tersebut. Ia menekankan sejumlah pasal-pasal baru tidak bisa lagi disebut sebagai pasal karet.

“Sebenarnya hakikat diresmikan UU ITE baru ini karena banyak warga negara Indonesia yang merasa UU ITE menjadi pasal karet yang bisa menjerat mereka sehingga kebebasan berekspresi dan komentar dibatasi. Saya melihat UU No.1 Tahun 2024 ini menjadi solusi untuk warga negara Indonesia yang ingin berekspresi lebih bebas,’’ jelas Billy dalam acara Instagram Live Hukumonline, Rabu (17/1).

Billy mengatakan tidak sepatutnya pencemaran nama baik yang tertuang dalam UU ITE dapat dikatakan pasal karet, meski pada realitanya banyak oknum yang menggunakan pencemaran nama baik. Menurutnya, UU No.1 Tahun 2024 salah satu solusi kecil untuk menjawab soal perilaku yang gemar melaporkan dengan pasal pencemaran nama baik.

UU ITE No. 1 Tahun 2024 tidak mencantumkan aturan yang sebelumnya ada di Pasal 27 ayat (3) tentang pidana penghinaan atau pencemaran nama baik melalui saluran elektronik. Dalam konteks masyarakat umum, dapat dikenakan pasal pencemaran nama baik atau hoaks yang sebelumnya diatur dalam Pasal 27 ayat (3), kini diatur dalam Pasal 27A.

Pasal 27A menyatakan, Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik.

UU Informasi dan Teknologi (UU ITE) telah mengalami beberapa perubahan. Meski demikian, masih ada warga yang khawatir dengan UU tersebut.

Salah satunya soal pasal pencemaran nama baik yang diatur di UU itu. Nah, hal itu menjadi pertanyaan pembaca. Berikut pertanyaan pembaca:

Halo detik's Advocate

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya mau tanya. Apakah perusahaan/korporasi berhak melaporkan pencemaran nama baik dengan UU ITE?

Saya baru saja membuat status di Facebook dan sudah saya delete. Takutnya, perusahaan yang saya sebut tidak terima dan melaporkan ke pihak kepolisian.

Pertama-tama, kami mengucapkan terima kasih sudah menanyakan permasalahan hukum yang sedang dialami ke kami. Kami harap apa yang MY alami segera berakhir.

Menjawab pertanyaan tersebut, kami menyarankan kepada MY untuk tetap sehat menggunakan dan bersuara di media sosial. Sebab, tulisan kita di media sosial dibaca oleh seluruh orang di penjuru dunia.

Menjawab pertanyaan MY, kami mengutip Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 229 Tahun 2021/No. 154 Tahun 2021/ No. KB/2/V1/2021 (SKB UU ITE) yang menyatakan bahwa :

"Korban sebagai pelapor harus orang perseorangan dengan identitas spesifik, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa badan hukum tidak dapat melaporkan perkara pencemaran nama baik di media sosial sebagaimana yang diatur dalam SKB UU ITE.

Berikut lampiran SKB Pedoman Implementasi UU ITE:

Pasal 27 ayat (3), fokus pada pasal ini adalah:

1) Pada perbuatan yang dilakukan secara sengaja dengan maksud mendistribusikan/ mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi yang muatannya menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum.

2) Bukan sebuah delik pidana jika konten berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas, juga jika kontennya berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.

3) Merupakan delik aduan sehingga harus korban sendiri yang melaporkan, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan.

4) Bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik jika konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas.

5) Jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka tetap berlaku UU ITE, kecuali dilakukan oleh institusi Pers maka diberlakukan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Demikian jawaban dari kami

Tim Pengasuh detik's Advocate

Tentang detik's Advocate

detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.

Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.

Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.

Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: [email protected] dan di-cc ke-email: [email protected]

Pertanyaan ditulis dengan runtut dan lengkap agar memudahkan kami menjawab masalah yang anda hadapi. Bila perlu sertakan bukti pendukung.

Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.

Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej (tengah) saat menghadiri rapat di DPR, Senayan.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengungkapkan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menghapus pasal pencemaran nama baik di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia mengatakan pasal penghinaan dalam UU ITE dihapus agar tidak menyebabkan disparitas.

"RKUHP ini menghapus pasal-pasal pencemaran nama baik dan penghinaan yang ada di dalam UU ITE," kata Wamenkumham usai menghadiri Rapat RKUHP dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (28/11/2022).

Ia melanjutkan, penghapusan dua pasal itu akan menekan potensi penafsiran berbeda di kalangan penegak hukum. Selain itu, ia menilai penghapusan pasal itu menjadi kabar baik bagi iklim demokrasi dan kebebasan berekspresi.

"Keputusan ini dibuat setelah mendengar masukan masyarakat, karena aparat penegak hukum sering kali menggunakan UU ITE untuk melakukan penangkapan dan penahanan," jelas Wamenkumham.

Kendati masih mencantumkan ancaman pidana terkait penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga kepresidenan, RKUHP telah memberi batas jelas antara penghinaan dan kritik. Ia juga menambahkan agar tidak terjadi disparitas maka ketentuan di dalam UU ITE dimasukkan ke RKUHP dengan penyesuaian-penyesuaian.

"Untuk tidak terjadi disparitas dan gap, maka ketentuan di dalam UU ITE kami masukkan ke RKUHP tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian yang dengan sendirinya mencabut ketentuan pidana khususnya Pasal 27 dan 28 yang ada dalam UU ITE," jelas Wamenkumham.

Sebelumnya, pemerintah dan DPR menyepakati RKUHP dalam pembahasan tingkat I. RKUHP akan dibawa ke sidang paripurna DPR untuk dibahas pada tingkat II dan disahkan. [*]

Oleh: Humas UM Sumbar   |   Kamis,08 Desember 2022 09:02:00

Humas UM Sumatera Barat - SALAH satu yang paling banyak dituntut oleh para aktivis, penggiat HAM, akademisi, adalah penghapusan pasal pencemaran nama baik di UU ITE. Pasal tersebut dinilai berpotensi untuk membungkam demokrasi. Beberapa waktu yang lalu keinginan ini mendapatkan angin segar. Pemerintah berencana untuk mencabut pasal-pasal pencemaran nama baik yang ada dalam UU ITE.

Dilansir dari Tempo.co (28 November 2022), Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan bahwa draf RKUHP versi 24 November 2022 turut mencabut Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 UU ITE. Pasal-pasal inilah yang dijadikan dalih untuk pembungkaman. Adapun Pasal 27 ayat (1) berbunyi, “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau dapat membuat  dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, yang memiliki muatan yang melanggarkesusilaan”. Sedangkan Pasal 28 pada ayat (2) berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA)”.

Perlu diketahui bahwa sejak disahkan tahun 2016, telah banyak korban pidana menggunakan pasal pencemaran nama baik UU ITE. Ini karena pasal tersebut tidak dirumuskan dengan baik sehingga menimbulkan multi tafsir. Berikutnya pasal-pasal itu digunakan untuk kepentingan penguasa dan membungkam siapa saja yang menentang kebijakan penguasa. Ini dapat dilihat dari catatan, sepanjang tahun 2020 terdapat korban, dan tahun 2021 terdapat 38 korban jerat UU ITE, dengan rincian.

Sedikit catatan sebetulnya kabar tersebut tidak sepenuhnya baik. Sebab rencananya pemerintah akan menggantikan pasal tersebut di dalam RKUHP. Sedangkan RKUHP yang rencananya akan disahkan dalam waktu dekat juga memuat pasal-pasal kontroversial termasuk penghinaan (dan pencemaran nama baik) lembaga negara, dan ditentang oleh banyak pihak. Ini merupakan kabar yang buruk bagi iklim demokrasi. Artinya pembungkaman masih potensial adanya. Untuk proses legislasi berarti kita harus menunggu kelanjutan dari proses legislasi RKUHP.

Di samping itu bukan tidak mungkin ada alasan lain di balik (perencanaan) penghapusan pasal-pasal tersebut. Hukum merupakan produk politik, dan hukum digunakan untuk kepentingan politik. Apa pun yang seharusnya tidak boleh, demi kepentingan politik, hukum bisa dimainkan untuk melegalkan kebijakan. Hukum dan politik saling berkelindan satu sama lain. Untuk itu, saya kira tidak mungkin melepaskan kepentingan politik dari suatu produk hukum.

Mencurigai Alasan Politis Dibaliknya Iklim politik di era ini secara terang-terangan berjalan secara tidak sehat. Politik tidak lagi dipenuhi dengan perang ide dan gagasan. Politik diwarnai dengan intrik-intrik yang membawa kebencian. Serangan-serangan fisik maupun verbal marak terjadi di mana-mana. Dan negara terkesan melanggengkan keadaan-keadaan yang seperti ini. Kepentingan penguasa adalah kekuasaan itu sendiri. Tidak peduli bagaimana pun catur perpolitikan yang terjadi.

Kecurigaan politis ini bisa muncul akibat sikap ‘pembiaran’ pemerintah terhadap kelompok “pemandu sorak” milik negara. Sekelompok orang, yang dicurigai memang bekerja untuk membangun citra penguasa. Persoalan lebih kritis adalah penyerangan terhadap lawan politik dengan cara-cara yang anti-moral. Misalnya menuduh lawannya dengan narasi-narasi anti-Pancasila, anti-NKRI, radikalisme, kadrun, dan semacamnya. Sebetulnya, sangat kentara politisasi dan agenda kebencian di belakangnya.

Terhadap pihak oposisi, penyerangan secara masif melalui sosial media juga turut dilakukan. Skema-skema ini dilakukan dengan cara menyerang sosok dari seorang figur yang berlawanan dengan pemerintah. Kelompok ini berupaya menjatuhkan citra lawan politik, sampai dengan cara-cara yang tidak wajar sama sekali. Tugas utama mereka cuma dua, menghiasi wajah pemerintah dan menjatuhkan pihak yang kritis terhadap kekuasaan dengan cara apa pun itu.

Pantas untuk curiga jangan-jangan dibalik penghapusan ini adalah untuk membiarkan “pemandu sorak” pemerintah ini untuk lebih leluasa dalam mengintimidasi lawan-lawan politiknya. Beberapa waktu yang lalu Jokowi mengumpulkan partisipannya di stadion Gelora Bung Karno. Beberapa kali, Jokowi juga melahirkan pernyataan-pernyataan yang sangat kontroversial berkaitan dengan siapa yang menjadi penggantinya. Sesuatu yang sangat tidak wajar dilakukan oleh seorang Presiden.

Presiden bukanlah kepemilikan kelompok tertentu. Presiden adalah lembaga negara yang berarti milik semua warga negara. Tetapi Jokowi masih berupaya untuk membangun citra politiknya. Penguatan basis yang sebetulnya tidak perlu, untuk apa? Bahkan sampai membangun kesan bahwa Presiden hendak ingin mengatur percaturan politik ke depannya. Artinya, seorang presiden pun keluar dari koridornya: sebagai sebuah lembaga negara menjadi penjaga kekuasaan.

Maka dari itu, alih-alih akan munculnya harapan untuk demokrasi yang lebih baik, kita juga patut curiga permainan seperti apa yang akan dimainkan dibalik peraturan-peraturan penting tersebut. Terlalu dini untuk mengatakan, bahwa diumumkannya penghapusan pasal pencemaran nama baik dalam RKUHP sebagai suatu kabar baik. Apakah pemerintah benar-benar memiliki itikad baik di ujung kekuasaan?

(Penulis adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat)

*** Untuk Mendapatkan Informasi Terbaru Ayo Bergabung Bersama Fanpage UM Sumatera Barat

Ikuti Juga Twitter UM Sumatera Barat

Kasus mengenai pencemaran nama baik merupakan salah satu kasus yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Pasal pencemaran nama baik digunakan untuk mengatur hal-hal yang termasuk dalam berbagai perbuatan yang mencemarkan nama baik seseorang.

Dalam hukum positif di Indonesia, masalah mengenai pencemaran nama baik diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, permasalahan ini juga diatur di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Nah, dalam artikel ini, kita akan mempelajari tentang pasal pencemaran nama baik yang diatur oleh hukum positif Indonesia, baik KUHP atau UU ITE. Untuk mendapatkan informasi seutuhnya, mari simak pembahasan di bawah ini sampai selesai!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasal Pencemaran Nama Baik dalam KUHP

KUHP memiliki berbagai pasal yang akan mengatur permasalahan mengenai pencemaran nama baik. Dikutip dari jurnal hukum berjudul Pencemaran Nama Baik dalam KUHP dan Menurut UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh Reydi Vridell Awawangi, berikut adalah pasal pencemaran nama baik dalam KUHP.

Pasal ini mengatur mengenai pencemaran secara lisan. Apabila seseorang telah melakukan unsur-unsur pencemaran secara lisan, maka dapat dikenakan oleh pasal ini.

Pasal 310 ayat 1 KUHP berbunyi "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Pasal ini akan mengatur perbuatan pencemaran nama baik yang dilakukan secara tertulis. Seseorang yang mencemarkan nama orang lain secara tertulis dapat dikenakan pasal ini.

Pasal 310 ayat 3 berbunyi "Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Pasal 311 KUHP mengatur tentang perbuatan fitnah yang dilakukan oleh seseorang. Perbuatan fitnah yang dapat mencemarkan nama orang lain dapat dikenakan oleh pasal ini.

Pasal 311 ayat 1 KUHP berbunyi "Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun."

Pasal 315 KUHP mengatur mengenai penghinaan ringan yang dilakukan oleh seseorang. Pengertiannya, jika seseorang mengumpat atau memaki-maki dengan kata-kata keju yang menurut pendapat umum dapat digolongkan sebagai kata penghinaan, maka tergolong memenuhi unsur dari pasal 315.

Pasal 315 KUHP berbunyi "Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Pasal 317 KUHP mengatur mengenai perbuatan memfitnah dengan pengaduan. Yang dimaksud memfitnah dengan pengaduan dalam pasal 317 KUHP dalam pasal 1 yaitu "Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun."

Pasal ini mengatur mengenai pencemaran nama baik terhadap seseorang yang sudah mati. Perbuatan tersebut dapat diancam oleh pasal 320 ayat 1 KUHP.

Pasal 320 ayat 1 berbunyi "Barang siapa terhadap orang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang tersebut masih hidup, akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah."